Artikel 1
Kebijakan P3B di Indonesia
Isu perpajakan internasional sudah menjadi topik yang hangat bagi Indonesia. Ini dibuktikan dengan meningkatnya perdagangan lintas negara di Indonesia baik ekspor maupun impor. Para investor yang tertarik menanamkan modal di Indonesia tentu juga sangat aware terhadap pajak internasional karena menyangkut nilai investasi dan pengembalian modal. Sedangkan pemerintah juga bertanggung jawab atas memberikan jaminan kepastian hukum fiskal bagi para investor serta mengamankan pendapatan negara dari sektor pajak. Sumber hukum utama perpajakan internasional yang terpenting adalah undang-undang dalam negeri (domestic tax laws) dan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang dalam Bahasa Inggris terkadang disebut dengan Tax Treaties, Double Tax Agreement, atau Agreement for the Avoidance of Double Taxation and The Prevention of Fiscal Evasion with Respect of Taxes on Income (Zain, 2003). P3B termasuk salah satu sumber hukum utama perpajakan internasional selain undang-undang perpajakan nasional karena suatu P3B pada hakikatnya merupakan rekonsiliasi dari dua hukum pajak yang berbeda. Pada negara-negara yang menganut aliran monist, P3B menjadi bagian ketentuan perundang-undangan domestik melalui proses ratifikasi dan ada kemungkinan kedudukan P3B akan berada di atas undangundang perpajakan nasional suatu negara. Pada negara-negara penganut aliran dualist, P3B akan menjadi bagian ketentuan perundang-undangan domestik hanya apabila ketentuan dalam P3B tersebut telah diterjemahkan ke dalam peraturan perpajakan nasional sehingga aliran ini terkesan lebih mengedepankan undang-undang domestiknya (Zain, 2003). Indonesia, P3B menjadi bagian dari ketentuan perpajakan Indonesia melalui proses ratifikasi dan kedudukannya diperlakukan sebagai lex specialist terhadap undang-undang domestik (Surahmat, 2000). Dalam dunia perpajakan internasional, dikenal dua model utama P3B, yaitu OECD Model dan UN Model. OECD Model dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara maju, sedangkan UN Model dibuat berdasarkan perspektif atau kepentingan negara-negara berkembang. Baik OECD Model maupun UN Model mempunyai susunan chapter dan artikel yang hampir sama. P3B Indonesia tidak selalu sama dengan Model Indonesia, atau bahkan berbeda juga dengan UN Model atau OECD Model tergantung dari proses negosiasi. Untuk menilai apakah P3B-P3B Indonesia yang saat ini berlaku mencerminkan suatu kebijakan tertentu atau tidak, berikut adalah analisis komparatif terhadap artikel-artikel tertentu dalam P3B Indonesia. Kebijakan P3B suatu negara meliputi proses inisiasi pembentukan P3B, model P3B, negosiasi,
dan terminasi. Dalam proses inisiasi pembentukan P3B, Indonesia belum mempunyai kebijakan baku atau standard operating procedure (SOP) untuk menentukan kapan perlu mengusulkan dan bagaimana menjawab usulan negara lain untuk membentuk P3B. Usaha untuk menyusun SOP tersebut sudah pernah ada, yaitu pada tahun 2009 Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal telah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang Tata Cara Penanganan Usulan Pembentukan dan Perundingan Kembali P3B. RPMK ini perlu segera direalisasikan agar instansi terkait mempunyai pedoman yang jelas mengenai tugas dan fungsinya. Selain itu, RPMK tersebut perlu diperluas cakupannya sehingga dapat mengatur tentang tata cara terminasi P3B juga. Indonesia telah mempunyai Model P3B yang dijadikan dasar berpijak dalam melaksanakan proses perundingan. Secara umum, karena Model Indonesia banyak bersesuaian dengan UN Model, kepentingan Indonesia sebagai negara berkembang telah tercermin dalam model tersebut. Meskipun demikian, Indonesia perlu senantiasa meng-update modelnya untuk mengikuti perkembangan zaman.
Referensi Kamil, Islamiah. 2012. Perpajakan Internasional. Pusat Bahan Ajar & E-learning Universitas Mercu Buana.
Artikel 2
Pajak Internasional
Pada era globalisasi sekarang ini terdapat perkembangan kegiatan ekonomi yang menglobal dan menumbuhkan investasi internasional dan yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari sisi perpajakan, globalisasi menciptakan permasalahan sendiri. Transaksi lintas negara menimbulkan konsekwensi pemajakan yang tidak sederhana karena setiap negara mempunyai kedaulatan dalam memajakan lalu lintas ekonomi, baik atas penduduk maupun bukan penduduk yang ada di negaranya. Akibatnya, transaksi lintas negara menimbulkan benturan dalam masalah yuridiksi dan hak pemajakannya. Pesatnya kegiatan ekonomi di era globalisasi ini telah melewati batas-batas negara, sehingga menimbulkan permasalahan tersendiri dari sisi perpajakan. Prinsip-prinsip pemajakan yang berbeda-beda di setiap negara dapat memunculkan pajak berganda internasional (international double taxation).
Pemajakan Transaksi Lintas Negara.
Transaksi lintas negara dapat menimbulkan permasalahan dalam bidang perpajakan. Hukum Pajak Internasional Indonesia secara umum dapat dikatakan berlaku terbatas hanya pada subyek dan obyek yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak dikenakan pajak berdasarkan undang-undang Indonesia. Namun demikian, Hukum Pajak Internasional Indonesia dapat berkaitan (berhubungan) dengan subyek maupun obyek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang erat, yaitu dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia. Menurut Rochmat Sumitro, azas-azas perpajakan adalah sebagai berikut :
a. Azas domisili. Berdasarkan azas domisili , subyek pajak dikenakan pajak di negara tempat subyek pajak tersebut berdomisili. Umumnya, negara ini menerapkan prinsip world wide income, yaitu penghasilan akan dikenakan pajak di negara domisili, baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Indonesia termasuk negara yang menggunakan azas ini.
b. Azas kewarganegaraan Berdasarkan azas kewarganegaraan, pengenaan pajak didasarkan pada status kewarganegaraan seseorang . Jadi, setiap orang yang menjadi warga negara di suatu negara akan dikenakan pajak
di negara tersebut, walaupun penghasilannya diterima dari negara lain. Contoh negara yang menganut azas ini adalah Amerika Serikat.
c. Azas teritorial. Berdasarkan azas ini, pajak dikenakan atas penghasilan yang diperoleh di wilayah (teritorial) suatu negara. Jadi yang dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang diperoleh dalam wilayah negara tersebut, sehingga atas penghasilan yang diperoleh dari luar negara tersebut tidak dikenakan pajak.
d. Asas Sumber Pajak dikenakan berdasarkan tempat sumber penghasilan berasal
e. Asas Campuran Campuran dari beberapa asas
Prinsip-prinsip pemajakan berbeda yang dianut di masing-masing negara menjadi cikal bakal munculnya pajak berganda internasional ( international double taxation). Pada dasarnya pajak internasional berlandaskan pada ketentuan perpajakan domestik yang berlaku terhadap wajib pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan dari luar negeri dan terhadap wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia. Selain ketentuan domestik pajak internasional juga berlandaskan pada perjanjian perpajakan dan praktik perpajakan (Gunadi, 1970).Dengan kata lain, pajak internasional akan berbicara mengenai bagaimana pemajakan atas penghasilan orang asing atau perusahaan (badan) asing yang diterimanya dari Indonesia, dan bagaimana pemajakan atas penghasilan orang atau perusahaan (badan) Indonesia atas penghasilan yang diterima dari luar negeri, dengan berdasarkan undang-undang domestik dan undang-undang negara lain, serta perjanjian perpajakan (tax treaty). Dimensi pajak internasional cukup luas, meliputi aturan pajak internasional yang sudah ada dalam Undang-undang Pajak Indonesia, aturan perpajakan yang ada di UU.Pajak Negara lain yang bersinggungan serta persetujuan penghindaran pajak yang telah dibuat Indonesia dengan negara lain. Dengan demikian pemajakan transaksi lintas negara dapat dilakukan dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan pajak internasional.
Pengertian Domisili Fiskal
Domisili fiskal adalah status kependudukan yang digunakan ntk tujuan pemajakan. Pemajakan untuk penduduk umumnya dikenakan dengan prinsip world wide income (pajak akan dikenakan dinegara domisili, baik penghasilan yang diterima/diperoleh dari dalam negeri maupn yang diterima/diperoleh dari luar negeri. Sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UU PPh).
Pemajakan bukan penduduk umumnya dikenakan di Negara sumber hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Negara tersebut. UU PPh tidak melihat stats subjek pajak orang pribadi berdasarkan kewarganegaraan, namun lebih kepada :
a. Tempat tinggal
b. Berapa lama berada di Indonesia, dan
c. Adanya niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
Perjanjian Perpajakan Internasional
a. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (Tax Treaty)
Tax Treaty adalah perjanjian penghindaran pajak berganda antara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu kedua negara pihak pada persetujuan.
b. Cara Penerapan (Mode of Application)
Aturan pelaksanaan yang jelas mengenai ketentuan-ketentuan tersebut
c. Tata cara Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure)
Sistem Perpajakan
Sistem pajak penghasilan dapat mengenakan pajak atas penghasilan lokal saja pendapatan diseluruh dunia. Umumnya, dimana pendapatan di seluruh dunia dikenakan pajak, penguranganpajak atau kredit luar negeri yang disediakan untuk pajak yang dibayarkan kepada yurisdiksi lain.Batasan ini hampir secara universal dikenakan pada kredit tersebut. Perusahaan multinasionalbiasanya mempekerjakan ahli perpajakan internasional, khusus di antara kedua pengacara danakuntan, untuk mengurangi kewajiban pajak mereka di seluruh dunia. Dengan sistem perpajakan, mungkin untuk menggeser atau kembali mengkarakterisasipendapatan dengan cara yang mengurangi pajak. Yurisdiksi sering memaksakan aturan yangberkaitan dengan pergeseran pendapatan di antara partai-partai umumnya dikendalikan, seringdisebut sebagai aturan mentransfer harga. Sistem residensi berbasis tunduk pada upaya wajibpajak untuk menunda pengakuan pendapatan melalui penggunaan pihak terkait. Pemerintah biasanya membatasi ruang lingkup pajak pendapatan mereka dalam beberapa cara teritorial atau menyediakan untuk offset dengan perpajakan yang berkaitan dengan pendapatanekstrateritorial. Cara keterbatasan umumnya mengambil salah satu dari tiga bentuk:
1. Teritorial: perpajakan hanya dari dalam negeri pendapatan
2. Residency: perpajakan dari semua pendapatan penduduk dan atau warga negara
3.Eksklusioner: inklusi atau pengecualian dalam jumlah tertentu kelas, atau bagianbagian penghasilan di dari dasar perpajakan.
Beberapa pemerintah telah berusaha untuk mengurangi keterbatasan yang berbeda dari masing-masing tiga sistem yang luas dengan memberlakukan sistem hibrida dengan karakteristik dari duaatau lebih. Misalnya, mereka mungkin pajak berdasarkan residensi tetapi memberikan jumlah tertentu pengecualian untuk pendapatan asing tertentu. Atau mungkin pajak penghasilan bersumber di negara ini serta yang disetorkan ke negara itu. Sebagian besar negara pajakdirealisasi atas disposisi realty dalam negeri, tanpa tempat tinggal atau sistem merek dari pajak.
Komentar
Posting Komentar